Miskonsepsi Yuridis Pendefinisian Identitas Gender dan Jenis Kelamin : Preferensi Gender Non-Biner bagian dari Hak Berekspresi

--

Non-Binary, Source: Freepik

Dalam beberapa waktu yang lalu, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH UH), sedang menjadi perbincangan yang panas di masyarakat, pada skala lokal maupun nasional. Sebelum respon yang kami keluarkan sehubungan dengan represifitas dari kampus terhadap mahasiswa FH UH yang ingin melakukan aksi menolak kedatangan Luhut, sehari sebelum itu terdapat pula peristiwa diskriminasi gender yang terjadi terhadap seorang Mahasiswa Baru (Maba) FH UH, karena preferensi gender yang dimilikinya.

Sebagai bagian dari kehidupan manusia, gender termasuk ke dalam HAM. Tiap-tiap manusia terlahir bebas dan merdeka. Padanya, terlekat Hak Asasi Manusia (HAM), yaitu seperangkat hak yang dimiliki oleh manusia karena ia adalah manusia. Secara definitif, merujuk kepada women’s studies encyclopedia, gender adalah suatu konsep kultural yang digunakan untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan. Sehingga, hal itu yang membuat gender memiliki dimensi yang berbeda dengan jenis kelamin (sex) yang lahir secara alamiah. Dengan kata lain, gender memiliki dimensi sosial, sehingga berbeda dengan konstruk alamiah pada jenis kelamin. Sehingga, gender memiliki keberagaman pada kehidupan masyarakat, sesuai dengan konstruk yang dibangun di masyarakat.

Konsep gender menurut Herien Puspitawati adalah istilah yang digunakan oleh para ahli dalam bidang sosial untuk menjelaskan perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan yang bersifat budaya yang dipelajari dan diasosiasikan sejak kecil. Perlunya pembedaan ini menurut Puspitawati karena masyarakat Indonesia masih mencampuradukkan antara hal-hal yang bersifat kodrati dan hal-hal yang tidak bersifat kodrati (gender). Sedangkan jenis kelamin menurut Mansour Fakih merupakan pensifatan atau pembagian jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Menyambung pernyataan Fakih jenis kelamin dapat dikatakan sebagai identitas manusia yang bersifat biologis atau kodrati, terdiri dari laki-laki dan permpuan yang masing-masing keduanya didasari perbedaan baik dari segi organ tubuh yang dimiliki seperti Penis dimiliki seseorang berjenis kelamin laki-laki dan vagina dimiliki oleh seseorang berjenis kelamin perempuan dan keduanya memiliki fungsi biologis.

Membahas mengenai gender, tidak akan terlepas dari identitas dan ekspresi gender itu sendiri. Identitas gender atau gender identity merupakan istilah yang digunakan oleh seseorang dalam mengidentifikasi gendernya. Sebagian besar orang mengidentifikasi gendernya sebagai laki-laki dan perempuan, namun beberapa orang mengidentifikasi identitas gendernya adalah keduanya, tidak keduanya, dan juga di antara keduanya. Sedangkan pada ekspresi gender merupakan cara seseorang dalam mengekspresikan gendernya kepada orang lain. Seseorang dapat mengekspresikan gendernya dengan sepenuhnya maskulin, sepenuhnya feminin, androgini, non biner, dan lain sebagainya. Ekspresi gender ini diterapkan kepada tingkah laku, gaya berpakaian, nama, dan pilihan kata ganti (pronoun choices). Berbagai tipe identitas gender seperti agender (termasuk neutral gender, null-gender, dan sebagainya), androgini, bigender, cisgender, butch, genderfluid, genderqueer, non biner, omni gender, transgender, demigirl, demiguy, dan lain sebagainya.

Di Indonesia sendiri, terkait dengan konsep gender, identitas gender, dan ekspresi gender telah ada sejak zaman dahulu sebelum kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia. Bahkan telah menjadi bagian dari budaya yang ada di Indonesia, salah satunya adalah masyarakat suku Bugis yang ada di Sulawesi Selatan. Masyarakat Bugis mengenal pembagian identitas gender menjadi lima, yang semuanya diakui dan memiliki perannya masing-masing. Pembagian itu antara lain adalah Makkunrai (perempuan), Onrowane (laki-laki), Calabai (laki-laki secara biologis namun mengambil peran perempuan), Calalai (perempuan secara biologis namun mengambil peran laki-laki), dan Bissu (dianggap bukan laki-laki dan perempuan tapi mewakili keseluruhan spektrum gender).

Rumusan argumentasi yang menggunakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) sebagai alat untuk mendiskriminasi gender seseorang, tidaklah tepat.

UU Adminduk hanya mengklasifikasikan jenis kelamin menjadi dua bentuk, yaitu laki-laki dan perempuan. Namun, tidak demikian dengan gender. Di dalam UU Adminduk, dikotomi laki-laki dan perempuan, hanya tersemat pada jenis kelamin, bukan pada gender. Sehingga, preferensi gender seseorang, tidaklah diatur dalam produk undang-undang di negara ini, khususnya apabila menggunakan UU Adminduk tersebut.

Apabila titik tolak argumentasi dari tindakan diskriminasi gender itu berangkat dari tidak diaturnya gender dalam hukum positif kita, maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah diskriminasi terhadap gender itu patut dilakukan atau boleh untuk dilakukan?

Merujuk pada perjanjian internasional tentang hak-hak sipil dan politik (International Covenant on Civil and Political Rights) yang telah diaksesi oleh Indonesia melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), setiap manusia memiliki hak untuk berpikir dan privasi yang tidak dapat diintervensi oleh siapapun. Termasuk pula di dalamnya mengenai preferensi gender yang ia pilih, sebagai bagian dari forum internum individu tersebut.

Selain itu, penggunaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berikut perubahannya (UU Perkawinan) untuk memberikan jalur diskriminasi terhadap gender seseorang, sangatlah tidak relevan.

UU Perkawinan, merupakan produk hukum yang digunakan dalam ruang lingkup perkawinan, yaitu ikatan antara seorang laki-laki dan perempuan untuk membetuk keluarga, bukan untuk memetakan gender seseorang yang cakupannya lebih luas mendudukkan seseorang dalam perannya secara konsep kultural di masyarakat. Menggunakan UU Perkawinan dalam memetakan gender ialah suatu sesat pikir. Tidaklah apple to apple menggunakan UU Perkawinan untuk melakukan pembahasan gender. Sebab gender, tidak selalu berorientasi untuk menjalin keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Fakih, Mansour. Kekerasan Gender dalam Pembangunan, dalam Ahmad Suaedy (ed), Kekerasan Dalam Perspektif Pesantren. Jakarta: Garrsindo: 2000.

Herien Puspitawati. 2012. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita Indonesia. IPB Press. Bogor.

Jurnal

Sri Nurohim. Identitas dan Peran Gender pada Masyarakat Suku Bugis. Sosietas: Jurnal Pendidikan Sosiologi. Vol. 8 Nomor 1 2018.

Artikel dan Berita

Daniel Stables. “Mengenal lima gender dalam Suku Bugis di Sulawesi yang kerap alami stigma dan diskriminasi, ‘Di masa depan, bissu akan terancam punah’,” diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/vert-tra-56854166 pada tanggal 21 Agustus 2022.

Sugeng Satoto, “Konsep Gender,” diakses dari https://bppk.kemenkeu.go.id/content/berita/balai-diklat-keuangan-balikpapan-konsep-gender-2019-11-05-b639e2fd/ pada tanggal 21 Agustus 2022.

Veronica Zambon, “What are some different types of gender identity?,” diakses dari https://www.medicalnewstoday.com/articles/types-of-gender-identity pada tanggal 21 Agustus 2022.

--

--

Institut Demokrasi, Hukum, dan HAM
Institut Demokrasi, Hukum, dan HAM

Written by Institut Demokrasi, Hukum, dan HAM

Perhimpunan Studi dan Advokasi Demokrasi, Hukum dan Hak Asasi Manusia Berbasis di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. LaLutteContinue!

No responses yet