Demi Paniai Dan Kasus Kejahatan HAM Di Papua Lainnya: Pembentukan Pengadilan HAM Di Papua Adalah Keharusan

--

Oleh: Munif A.

Credit: Tempo

Jelas tak bisa ditampik, persoalan hak asasi manusia (HAM) adalah salah satu masalah yang terus mengakar di Papua. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menunjukkan, pelanggaran HAM dan kekerasan politik sudah terjadi sejak konflik dekolonisasi Papua mengambil masa pada dekade 1960-an.[1] Pun, dari keseluruhan kasus Pelanggaran HAM yang Berat (seterusnya disingkat: PHB) yang telah diselidiki secara ‘pro-justitia’ oleh Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) Republik Indonesia, tiga kasus di antaranya adalah kasus-kasus yang terjadi di Papua, yakni: Abepura (2000); Wasior-Wamena (2001 dan 2003); serta Paniai (2014).[2]

Kasus Abepura telah menjadi satu preseden ketika harapan korban Orang Asli Papua (OAP), dan khalayak publik akan penegakan keadilan di Bumi Cenderawasih, nyaris mewujud. Kasus kejahatan terhadap kemanusiaan ini akhirnya melenggang ke meja hijau, dengan dua pejabat korps Kepolisian RI duduk sebagai terdakwa menghadapi tuntutan pertanggungjawaban di Pengadilan HAM Makassar. Namun harapan tersebut pupus tatkala ketuk palu majelis hakim membebaskan kedua terdakwa secara murni (‘vrijspraak’). Tidak efektifnya performa Jaksa Penuntut dinilai kuat menjadi faktor utama gagalnya penuntutan sehingga terdakwa tidak menerima ganjaran hukuman apa pun.[3]

Harapan yang sama kini mencuat, seturut dengan langkah Kejaksaan Agung selaku pihak penyidik dan penuntut perkara PHB akhirnya menindaklanjuti kasus Paniai. Terhitung sejak 03 Desember 2021 lalu, Jaksa Agung S.T. Burhanuddin memutuskan pembentukan Tim Penyidik guna memulai proses penyidikan terhadap kasus Paniai.

Perkembangan sejauh ini memperlihatkan, seorang purnawirawan Tentara Nasional Indonesia berinisial “IS” telah ditetapkan sebagai tersangka. Dengan hitungan bahwa baru satu tersangka yang ditetapkan, tentu menjadi pertanyaan apakah penyidikan ini pun akan menyeret berbagai terduga pelaku yang berada pada rantai komando lebih di atas. Terlebih lagi, pihak Kejaksaan Agung tidak memberlakukan penahanan kepada “IS” karena tersangka yang bersangkutan bertindak “kooperatif”.[4]

Terlepas dari kritisisme bahwa pihak Kejaksaan Agung tidak melakukan penahanan kepada “IS”, satu permasalahan yang lebih mendasar tampak luput dari perhatian yang serius, yaitu pelaksanaan amanat pembentukan Pengadilan HAM berdasarkan Undang-Undang Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (‘UU Otsus’: UU №21 Tahun 2001 yang kelak direvisi UU №2 Tahun 2021).

UU Otsus terbilang merupakan titik tengah di antara dua tuntutan yang saling tarik-menarik: penentuan nasib sendiri rakyat Papua, dan kepentingan untuk mempertahankan Papua di dalam bingkai NKRI. UU ini betapa pun tak hanya berurusan dengan gelontoran dana yang melimpah dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut penegakan HAM. Terlepas pula bahwa legitimasi politik dari UU Otsus masih dipersoalkan bagi sebagian besar rakyat OAP, setidaknya terdapat berbagai ketentuan yang menunjukkan komitmen penegakan HAM.[5]

Pembentukan UU Otsus, seperti dijelaskan pada bagian konsiderans ‘menimbang’ (huruf f.), berpijak di atas pengakuan bahwa “penyelenggaraan pemerintahan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap HAM” bagi masyarakat Papua. Lebih lanjut, sebagaimana termaktub pada Pasal 45 dan 46, UU ini mengamanatkan Pemerintah untuk membentuk perwakilan Komnas HAM, Pengadilan HAM, serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Provinsi Papua.

Nahas, amanat tersebut tidak terealisasi secara menyeluruh. Hanya perwakilan Komnas HAM yang telah dibentuk sejauh ini. KKR ‘lokal’ juga belum didirikan, yang tampaknya disebabkan karena pembatalan UU KKR nasional (UU №27 Tahun 2004) oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 silam. Pengadilan HAM pun sampai sekarang sama sekali tak terlihat di salah satu Pengadilan Negeri di Papua.[6]

Pasal 45 UU №26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (‘UU 26/2000’) menggariskan, Pengadilan HAM didirikan untuk pertama kalinya di empat wilayah: Medan, Jakarta Pusat, Surabaya, dan Makassar. Keempatnya memiliki wilayah hukum masing-masing. Kasus PHB yang terjadi di bagian Indonesia tengah dan timur, mulai dari Sulawesi hingga Papua (pada teks UU 26/2000 disebut “Irian Jaya”), akan menjadi cakupan kompetensi Pengadilan HAM Makassar. Karena itulah kasus Abepura sebelumnya dipersidangkan di Pengadilan HAM Makassar. Dengan demikian, kasus PHB Paniai juga akan diadili di Makassar.

Terhitung sebelas tahun lamanya sejak UU Otsus diberlakukan, amanat pembentukan Pengadilan HAM di Papua belum kunjung dilaksanakan. Masalah itu jelas memperlihatkan ketidakseriusan Pemerintah selama ini untuk menuntaskan masalah HAM di Papua. Padahal berbagai organisasi HAM di Papua, seperti LP3BH Manokwari dan LBH Papua, telah mendesak realisasi amanat itu.[7]

Demi melaksanakan amanat UU Otsus, Presiden RI Joko Widodo harus membentuk Pengadilan HAM di Papua melalui Keputusan Presiden (Keppres). Keppres adalah instrumen yang cukup tepat. Sebab dari preseden yang ada, empat Pengadilan HAM dibentuk sejak era pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui instrumen tersebut, sebagaimana dapat dirujuk pada Keputusan Presiden №31 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Medan, dan Pengadilan Negeri Makassar.

Terlebih, pembentukan Pengadilan HAM di Papua adalah keperluan yang mendesak demi keterjangkauan maupun keterlibatan korban dan seluruh masyarakat OAP di dalam persidangan yang akan digelar. Proses hukum yang sementara berjalan pada kasus PHB Paniai ini adalah momentum paling tepat agar amanat pembentukan Pengadilan HAM di Papua segera direalisasikan.***

Catatan Akhir

[1] Muridan S. Widjojo et.al. Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), hlm. 11–13, 194–201.

[2] Komnas HAM RI. Menjemput Keadilan: Ringkasan Eksekutif Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat (Jakarta: Tim Publikasi Komnas HAM, 2020).

[3] Diajeng Wulan Christianty et.al. Pengadilan Pura-Pura: Eksaminasi Publik atas Putusan Pengadilan HAM Kasus Abepura (Jakarta: ELSAM, 2007), hlm. 96–97.

[4] Kompas.com. “Purnawirawan TNI Tersangka Kasus Paniai Belum Ditahan, Kejagung: Masih Kooperatif”. 02 April 2022. Diakses 05–04–2022. Tautan: https://nasional.kompas.com/read/2022/04/02/08384581/purnawirawan-tni-tersangka-kasus-paniai-belum-ditahan-kejagung-masih?page=all.

[5] Muridan S. Widjojo dan Aisah Putri Budiatri (2012). “UU Otonomi Khusus Bagi Papua: Masalah Legitimasi dan Kemauan Politik”. Jurnal Penelitian Politik, Vol. 9, №1: hlm. 59–80. https://doi.org/10.14203/jpp.v9i1.449.

[6] ICTJ-Elsham. “Masa Lalu yang Tak Berlalu: Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanah Papua Sebelum dan Sesudah Reformasi”. International Center for Transitional Justice: Juni 2012, hlm. 10–11.

[7] Tirto.id. “Pemerintah Didesak Bentuk Pengadilan HAM di Papua”. 17 Februari 2020. Tautan: https://tirto.id/pemerintah-didesak-bentuk-pengadilan-ham-di-papua-ezyz; Cenderawasih Pos. “LBH Papua Desak Presiden Bentuk Pengadilan HAM di Papua”. 09 Desember 2021. Tautan: https://cenderawasihpos.jawapos.com/berita-utama/09/12/2021/lbh-papua-desak-presiden-bentuk-pengadilan-ham-di-papua/. John NR Gobay, Sekretaris II Dewan Adat Papua juga mendesak tuntutan serupa. Lansiran: Jubi.co.id. “Kasus Paniai Ditetapkan sebagai Pelanggaran HAM Berat”. 17 Februari 2020. Diakses 05–04–2022.

--

--

Institut Demokrasi, Hukum, dan HAM
Institut Demokrasi, Hukum, dan HAM

Written by Institut Demokrasi, Hukum, dan HAM

Perhimpunan Studi dan Advokasi Demokrasi, Hukum dan Hak Asasi Manusia Berbasis di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. LaLutteContinue!

No responses yet